Kiamat bagi
sebagian orang adalah peristiwa magis yang cenderung komikal, melibatkan naga
berkepala tujuh atau jembatan dari rambut yang dibelah tujuh yang disebut Jembatan Shiratal Mustaqim. Peristiwa ini
merupakan intervensi pihak eksternal, yakni Tuhan, yang akan datang menghakimi
manusia di hari yang tak terduga. Lalu, jika tiba peristiwa alam yang meluluh lantakkan
sebagian besar Bumi sebelah utara, melenyapkan sebagian besar Eropa, menihilkan
kehidupan di Rusia, menyusutkan populasi AS hingga separuh, merusak barat
Australia, Jepang, dan menenggelamkan pesisir pantai dunia hingga enam meter,
menciutkan populasi Bumi sekurangnya dua puluh persen, lalu membiarkan sisanya dicengkeram
iklim ekstrem dan kekacauan global. Apakah ini cukup untuk sebuah definisi HARI
KIAMAT ?
Namun pemahaman
kita tentang ini merangkak lamban seperti siput dibandingkan alam yang bagai
kuda mengamuk. Isu pemanasan global membutuhkan satu dekade lebih untuk diakui
para skeptis dan birokrat. Di Indonesia, sumber energi alternatif baru
ramai dibahas setelah harga BBM melonjak, setelah bangsa ini terlanjur
ketergantungan pada minyak. Isu pengolahan sampah dapur hanya sampai taraf “bisik-bisik”,
itu pun setelah gunung sampah longsor dan memakan korban. Selain upaya kalangan
industri yang dirugikan oleh turunnya konsumsi energi fosil, lambannya respons
kita juga disebabkan perkembangan sains ke pecahan-pecahan spesialiasi hingga
fenomena yang tersebar acak jarang diintegrasikan menjadi satu gambaran utuh,
dan tanpa sebuah modelanalisa yang sanggup menunjuk satu tanggal pasti, bencana
katastrofik ini hanya menjadi wacana spekulatif. Sekarang ini bisa dibilang
kita dibanjiri data dan gejala tanpa sebuah kerangka diagnosa.
Pengetahuan kita
tentang akhir dunia pun stagnan dalam kerangka mitos biblikal yang sulit dikorelasikan
dengan efek panjang kebakaran hutan atau eksploitasi alam, hingga lazimlah jika
orang beribadah jungkir-balik demi mengantasipasi hari penghakiman tetapi terus
membuang “sampahnya” sembarangan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman akan bahaya
dari pemanasan global,dan tindakan nyata untuk meresponsnya dengan urgensi
skala hari kiamat. Ada
tidaknya hubungan knalpot mobil kita dengan cairnya es di kutub, bukankah
kualitas udara yang baik berefek positif bagi semua? Lupakan plang 'Sayangilah
Lingkungan'. Kita telah sampai pada era tindakan nyata. Banyak hal kecil
yang bisa kita lakukan dari rumah tanpa perlu menunggu siapa-siapa. Perubahan gaya hidup adalah tabungan
waktu kita, demi peradaban, demi yang kita cinta. Angkot kita satu dan sama
yaitu Bumi. Tarif yang kita bayar juga sama, mau kiamat jauh atau dekat. Tidak
ada angkot lain yang menampung kita jika yang satu ini mogok. Penumpang yang
baik akan memelihara dan membantu kendaraan satu-satunya ini. Sekuat tenaga.