Saya teringat awal ketika
produk pemutih wajah begitu gencarnya diperkenalkan. Saya baru mulai
kuliah saat itu. Saya tak ingat persis yang mana, tapi saya pernah mencoba
memakai salah satu produk tersebut, tidak lama-lama karena kurang cocok. Dan
dari masa itu hingga sekarang, tak terhitung lagi banyaknya aneka produk
pemutih kulit yang ditawarkan berbagai produsen. Cara mereka beriklan pun
semakin luar biasa cerdik. Putihnya kulit dihubungkan dengan peluangnya
menemukan cinta, dengan putihnya hati nurani, dengan kebahagiaan, hingga
perebutan jodoh dalam tujuh hari. Gosong akibat kebanyakan beraktivitas di
bawah terik matahari tidak lagi menjadi alasan yang spesial. Mereka yang kurang
putih digambarkan murung, tak mendapat perhatian cukup, selalu dilewatkan oleh
sang pujaan, alias tak bahagia. Sementara mereka yang sudah putih atau akhirnya
berhasil putih menjadi lebih semringah, diperhatikan orang-orang, dan
mendapatkan cinta. Singkat kata, LEBIH BAHAGIA.
Melihat iklan-iklan itu, saya
jadi bertanya-tanya, mengorek-ngorek ingatan saya : pernahkah saya bertemu
kasus di mana seseorang ditinggalkan karena kurang putih? Atau pernahkah saya
sendiri, ketika harus menentukan pasangan, mendasarkan penilaian saya atas
kadar melanin kulit mereka? Jujur, saya belum pernah. Pada akhirnya, yang
membuat saya betah bersama dengan seseorang adalah kecocokan, ketersambungan
sinapsis, hati, dan jiwa. Sesuatu yang tak bisa diverbalkan atau bahkan
divisualisasikan. Dibutuhkan waktu sepuluhan tahun, hingga akhirnya saya
memahami bahwa kata 'memutihkan' cenderung menyesatkan (beberapa perusahaan lantas
memilih kata 'mencerahkan' karena dianggap lebih realistis). Dibutuhkan
pengalaman hidup untuk akhirnya mampu menyimpulkan bahwa tampilan fisik, termasuk
di dalamnya: warna kulit. bukanlah penentu dalam menghadirkan cinta dan
kebahagiaan. Dibutuhkan pula obrol-obrol dengan para insan periklanan dan
perfilman untuk tahu bahwa bintang iklan pemutih kulit memang sudah putih dari
sananya. Kalaupun kurang putih, masih ada lampu, bedak, dan sulap digital
yang mampu menghadirkan citra apa saja yang dimau sang pengiklan. Dibutuhkan
juga buku genetika dan matematika untuk akhirnya memahami mengapa para perempuan tak
henti-hentinya berlomba-lomba mengikuti standar cantik masyarakat, dan para
pria tak usainya berpacu menjadi yang paling kaya dan sukses, di luar dari
batas logika mereka.
***Beberapa hari
yang lalu, saya terlibat diskusi dengan beberapa teman pria saya. Mereka mempertanyakan,
kenapa kok pasangan-pasangan mereka, tak henti-hentinya menyoalkan
berat badan, gaya
busana, kecantikan kulit, dan sebagainya. Saya berceletuk, karena kompetisi
genetika. Mereka yang lebih cantik akan punya peluang lebih besar untuk
mendapatkan pasangan. Argumen saya dibalas lagi: tapi kan mereka sudah memperoleh pasangan—yakni,
teman-teman saya tadi. Lalu, kok masih terus-terusan repot? Mereka repot
berdandan untuk siapa, dan untuk apa? Padahal teman-teman saya tidak merasa
memberikan aneka tuntutan atas penampilan mereka. Kalau sudah cinta, ya, cinta
saja. Jika kaum perempuan mendengar pernyataan itu, pastilah mereka bilang
bahwa teman-teman saya itu spesies langka, atau mungkin cuma munafik. Tidak ada
pria di muka Bumi ini yang tidak menginginkan pasangannya cantik dan
menarik. Namun saya tidak terburu-buru melempar komentar senada. Apa yang
dibilang teman-teman saya cukup logis, memang. Kalau pasangannya sudah dapat,
jadi buat apa lagi repot?
Lalu saya
berceletuk lagi, bahwa selama perempuan itu masih subur, dan selama pasangannya
pun masih sanggup bereproduksi, kompetisi genetika tidak akan pernah selesai.
Baik perempuan, maupun laki-laki, akan selalu berada di
bawah bayang-bayang kendali primordial mereka: prokreasi. Agenda genetika
hanya satu: kelangsungan hidup dan replikasi diri. Bagi kaum hawa, kebutuhan
itu lantas diterjemahkan menjadi kompetisi keamanan dan kepastian bagi dirinya
serta keturunannya. Bagi kaum adam, penerjemahannya adalah kompetisi menjadi
yang terkuat agar berpeluang besar untuk meneruskan keturunan. Dalam
perkembangan peradaban, tentu konsep ini pun semakin canggih dan
berlapis-lapis, walau jika dikupas isinya sama-sama saja. “KUAT” pada
zaman batu berarti cerdik dan tangguh hingga mampu menghadapi ancaman
predator.”CANTIK” pada zaman itu artinya subur hingga mampu beranak
banyak. Sekarang, “KUAT” berarti aset finansial, “CANTIK” berarti dada-pinggul
besar, berdandan seksi, cerdas, dan seterusnya. Silakan dikupas, dan kita
akan menemukan inti yang sama: “Keamanan dan jaminan Prokreasi”.
***Seumpama jerapah
yang berevolusi hingga lehernya panjang, otak manusia pun berkembang sedemikian
rupa hingga kita bisa berkomunikasi dengan akurat sampai akhirnya menjadi
spesies penguasa. Dilihat dari proporsi tubuh kita, para hewan akan
melihat bayi manusia sebagai makhluk aneh dengan otak yang terlampau
besar. Dan itulah hadiah evolusi untuk manusia. Sebagai makhluk tak
bercakar, tak bertaring, dan kulit yang terlampau halus, manusia berhasil
menjadi spesies dominan karena kecanggihan otaknya dan keterampilan jemarinya. Manusia
bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu
elemen lain, yang dikenal dengan istilah: Akal Budi. Lewat Akal Budi pulalah
lantas tercipta “Aku” atau Ego”. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis
menciptakan 'Kamu', 'Kita', 'Mereka', 'Dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan.
Dan 'Aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga
yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama Manusia.
'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku'
juga bisa menjadi sumber segala bencana—jika kita hanyut dalam ilusi yang
dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda. Kini, kita
melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik
seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan
kecanduan sensasi indrawi. Disisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung
seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi
makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai
agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya
akan selalu mengatakan "makan" jika lapar, dan "kawin", jika musimnya kawin.
Dari sesuatu yang pernah saya ketahui. Saya menemukan
banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata
lebih jauh tiga kali lipatdibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse
dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse
dengan gorila—yang padahal di mata kita sama-sama “Monyet”. Konon, Carolus Linnaeus memisahkan manusia dari
bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak gereja. Pada kenyataannya, kita
bertetangga lebih dekat dengan binatang, ketimbang antar binatang itu sendiri.
Tidakkah ini lucu? Saya tergeli-geli ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya
aparatus bernama 'aku' sehingga kita dimampukan untuk mengabaikan fakta dan
lantas menyebut diri makhluk mulia. Pernahkah kita renungi, bahwa terlepas dari
kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan mulia, tapi atas nama Kemuliaan, kita
sering terlena dalam ilusi kolektif kita sebagai representatif agung yang
ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit dan bumi hingga tak sadar
bahwa kita pun sedang membunuhnya secara perlahan? Inilah yang menjadikan
manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena pertempuran antara
gen yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri, tapi isi agendanya tak
selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di atas dua kaki, dari mulai
kita bangun pagi hingga kembali tidur.
Kembali pada
obrolan saya dengan teman-teman saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini
mereka pun garuk-garuk kepala, mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa
berkembang liar menjadi urusan taksonomi, genetika, dan matematika? Saya
pun berkata, bahwa gelinya saya ketika tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila
sama dengan gelinya saya waktu menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang
mereka reklamekan sesungguhnya bukanlah perlombaan menuju bahagia,
melainkan perlombaan genetika yang tak ada hubungannya dengan kebahagiaan,
putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya, kita berpotensi besar untuk
berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda genetika tak mungkin dipuaskan. Muncullah
pertanyaan kami bersama: apa gunanya tahu tentang perbudakan gen ini kalau memang
tidak bisa dilawan? Saya pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah
hal tersebut menjadi konflik baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita
lakukan adalah menyadarinya? Dan mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih
awas dan hati-hati dalam bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga
kita bisa lebih bijak dan menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga
pedang bermata ganda ini dapat dipakai dengan Konstruktif, bukannya Destruktif
?. Mengetahui sesuatu tak selalu berujung pada perlawanan. Karena
perlawanan tanpa kebijaksanaanakan berujung pada perang Reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu
'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan
merupakan paket dari eksistensikita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu
harus terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas
manusia yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak
menahan diri—bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan
bersama, Koeksistensi dengan semua
makhluk, termasuk spesies kita sendiri. Dengan demikian, kita lebih bisa
memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang esensial. Jika yang dicari
putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti hydroquinone
atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin,
seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat
pinggang penghancur lemak, pil pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih
bangir, dan seterusnya? Dan seperti buta, kita justru melewatkan hal-hal yang
membuat diri kita lebih tenteram dan mawas. Sore itu, di dalam kamar mandi saya
bercermin, lalu bertanya pada diri sendiri: akankah saya bertambah bahagia
jika kulit saya lebih putih, mulus tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin
tidak. Namun sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan
menyadari bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa
terbebasnya kita dari konflik—meski hanya semenit-dua menit adalah kedamaian sejati,
yang hanya bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi menyadari dan menerima keadaan
kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga mental? Saya rasa, itulah
pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu, pertanyaan semacam itu
tak akan laku jika diiklankan. Namun saya juga yakin, pertanyaan itulah
yang menggantungi setiap dari kita, spesies manusia, dan menggetok kepala kita
satu hari, pada satu momen yang sempurna.